Saturday, November 27

SUARA HATI UNTUK IBU

Kasih ibu sepanjang masa. Ungkapan itu benar adanya. Aku menyayangi wanita yang telah melahirkan aku dan membesarkanku. Tapi bukan dengan baik. Perlakuan ibu padaku hampir seperti perlakuan pada anak tiri. Atas nama kasih sayang, disiplin, pembelajaran dan kebenaran, ibu memukulku bila hatinya mulai panas.
Aku ingat saat usiaku menginjak 5 tahun. Jika aku nakal, ibu akan mengurungku di dalam kamar mandi berukuran 2 x 2 meter. Lampunya dimatikan. Sebelumnya ibu mengguyurku dan menimpuk kepalaku dengan gayung. Sakit, bu. Tetapi lebih menakutkan lagi dalam ruang sempit dan gelap ini. Aku jadi phobia berat.

Itu jadi makananku sehari-hari. Jika aku sudah tak lagi tahan dengan sikap ibu, aku berlari menuju pohon cengkeh milik tetangga lain blok. Pohon cengkeh bagiku adalah mahluk Tuhan yang sangat perasa. Betulan! Pernah aku menangis sambil kesakitan sebab dicubit ibu, aku berbicara pada pohon cengkeh. Entah kebetulan atau tidak, beberapa buah cengkehnya jatuh di hadapanku. Aku masih tak mengerti maknanya. Aku artikan itu air matanya yang jatuh mendengar kisahku. Kisah aku dan ibuku.

Aku teringat suaramu yang merdu saat memarahiku. Aku juga teringat sentuhanmu yang sedikit meninggalkan memar di jidatku. Aku juga ingat sorot matamu yang lembut menghujam jantungku. Bu, apa salahku? Mengapa engkau berbuat ini, sementara aku sangat menyayangimu, bu?

Bahkan hingga saat ini, aku tak mau menyimpan dendam padamu. Mana kata-katamu bahwa kakak dan adikku lebih baik daripada aku? Lebih sopan dibanding aku. Lebih berperasaan dibanding aku. Lebih patuh kepada orangtua dibanding aku. Nyatanya, tak satupun dari mereka tahu bahwa kau sedang terbaring lemah di rumah sakit.

Iya, bu. Kau terbaring lemah di hadapanku. AKu tak berani melangkah masuk ke kamar VIP tersebut. Aku menatapmu lewat pintu, karena kau sudah berpesan pada bapak, jangan sampai aku muncul di hadapanmu. Jika itu yang kukerjakan, maka kau memilih untuk mati. Kenapa bu? Kenapa kau menolakku? Apa ibu masih dendam padaku karena pergi dari rumah? Bukankah ibu yang mengusirku? Bahkan ini sudah usiran yang kesekian, baru beberapa bulan kemarin aku berani untuk melangkah keluar rumah.

Apakah itu biang utama kenapa ibu menolakku?

Jika iya, aku minta maaf, bu. Bukan maksudku untuk membuatmu kecewa. Tapi aku sudah besar dan tak tahan menjadi “sesuatu” dan bukan “seseorang” di rumah ibu dan bapak. Aku memilih jalanku sendiri. Maafkan aku, bu. Aku memang durhaka. Aku mau menebusnya. Aku ikut membantu biaya rumah sakit, mudah-mudahan beban ibu berkurang.

‘’La, makasih ya sudah tanggung semua biaya berobat ibu. Meski kamu yang paling nakal di antara anak bapak dan ibu, kamu juga yang paling berhasil dan paling sayang sama bapak dan ibu. Maafin bapak dan ibu kalau ada salah ya, La,’’ tutur bapak.

Aku langsung menggeleng. Ini bukan bantuan. Bantuan sifatnya sukarela. Ini sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawabku sebagai anak. Mana aku tega melihat ibu terbaring lemah dengan infus di perutnya dan nafas tersegal di kerongkongan.

Bu, cepat sembuh ya. Aku sayang ibu. Apapun yang telah ibu perbuat kepadaku aku telah memaafkannya, bu. Sebaliknya aku juga minta maaf jika tak pernah ibu inginkan diriku.

Aku menyayangimu, Bu...
Tiba-tiba aku mendengar bunyi alat penanda detak jantung ibu telah bergaris lurus. Semua suster berhamburan mendekati wanita yang sangat kucintai itu. Dan aku hanya bisa menangis. Ibu! Bangun!!!
=mxaf
 
Dikutip dari www.pekanbarumx.net

No comments:

Post a Comment

untuk itu kami sangat memerlukan partisipasi anda anda semua, dan layanan coment ini kami buka seluas luasnya