Serpihan Hati


Massa yang lalu telah pergi meninggalkan seberkas kisah yang panjang dan melelahkan.
Kisah yang tak kan pernah usai dengan cerita-cerita unik dan menggairahkan,
Namun aku disini kan tetap bermain dengan egonya logika kehidupan ku, dengan diiringi nada-nada perang pemikiran dalam batin ini.
Aku tak tertidur dalam peraduanku,
Aku juga tak bersenandung dalam mimpi-mimpi ku.
Namun aku disini menendangkan nada-nada sendu dalam diamku.
Dan aku kan berdiri tegak terbalut canda dan tawa dalam kelumpuhanku.
Aku tahu aku tak lagi seperti yang dulu,
Dimana bermain dalam istana hati maya dan kenyataan.
Hingga aku tak mampu lagi melihat indahnya nyata kehidupanku.

Perlahan massa menepuk pundakku, membangunkan ku pada peraduan ku.
Detik pun membisikkan ketidakmampuanku dalam sadarku.
Gelombang kerapuhanku membelit keutuhan kepercayaanku,
Hingga aku pun lumpuh dalam diam.

Tapakkan-tapakkan kaki telanjang diatas serpihan hati yang tlah remuk, menyadarkan bahwa kini aku telah memulai massa kehidupan yang baru.
Sisa-sisa kisah yang lama terkantongi dalam keranjang kisah baru nan tak utuh.

Lengkap sudah kisah yang kau berikan pada ku,
Hadirmu perlahan memudar dengan tenggelamnya senja dalam hempasan keringnya batin.
Kisah yang tak pernah ada arti keindahan,
Kisah yang tertulis dikarenakan egonya pembuktian pada yang lain.
Namun, permainan hati ini tertatih-tatih tuk berusaha menemukan madu diantara kehampaan sebuah komitment.
Tak ada senyum, canda, dan tawa yang selama ini terlukiskan dalam kosongnya ruang hati.
Hingga akhir dari sebuah kisah telah terlengkapi.

Kau yang pernah memberikan warna dalam hati,
Kau yang pernah mendendangkan melodi romansa dalam sanubari,
Dan kau pula yang pernah singgah menerangi gelapnya sebuah kehampaan.
Namun kini, semua itu terhempas meninggalkan seiring hembusan nafas yang berhembus.

Kau menghitam putihkan asa,
Meninggalkan segores luka pada hati,
Hingga hitam nya sebuah kekosongan kembali bersanding.
Indahnya rajutan-rajutan mimpi yang dulu tercipta senantiasa membalut hariku.
Namun, perlahan terlepas dalam sebuah keangkuhan.

Kala merpati putih menyapa lembut menyesakkan jiwa,
Membenamkan ku pada dalamnya kesedihan.
Yang tersisa hanyalah seulas senyuman dari bibir kepalsuan.
Dengan penantian secuil harapan yang tersisa kan jadi sebuah barunya sebuah kebahagiaan.
Kisah telah terlengkapi,
Kini yang dapat ku lakukan hanyalah mengemas dalam lukanya peti hati,
Dengan akhir cerita yang tergoreskan di naskah hidupku,
Yang kau berikan sampul perihnya sebuah senyuman pada sebuah merpati putih mu.

Lantunan melodi ayat hati tak tentu,
Membutakan asa siapa yang sedang dimainkan.
Yang terkecap hanyalah ombang ambing ketidakpastian abunya rasa.

Pertanyaan-pertanyaan liar memanjakan ku dalam kisah kebisuan.
Apakah aku harus meminta jawaban pada sang bisu.
Ataukah mengemas semua itu dalam luka hati yang menganga perih ?
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Hingga pertanyaan liar itu mengabadikan ku dengan jawaban yang tak terjawab.

Massa penantian kembali mendampingi kisah nyata ku,
Walau mayanya kisah yang lain kembali menari menggoda.
Memaksa asa ini bermain kembali dalam kemayaan.

Dalam diam aku menyapa mekarnya sekuntum pesona.
Menebar wangi romansa untuk perubahan abadi.
Tak ada kata yang terucap,
Kala alam pun tak merestui adanya sebuah perubahan.
Selimut senyum kepalsuan terulas lembut di bibir yang mencibir.
Nanar yang terpana akan ketidakpastian dalam sebuah perjuangan.
Usaha yang selama ini telah terlantunkan halus berhembus,
Tak terestui dalam ketidak pantasan.

Mekarnya pesona dituntun kerasnya ego yang buta,
Lelah batin yang menguras daging menutup kembali pesona yang tlah mekar,
Kesedihan terlukiskan dalam wajah yang sayu.
Pujian dalam bertahan perlahan ku dendangkan,
Miris nya asa membutakan kenyataan,
Menanti kunci akhir mekar sekuntum pesona bersanding dengan bahagia kerasnya ego.

Kini dikala aku beranjak pergi membawa luka hati,
Aku harus menoleh kembali akan kisah yang lalu.
Meragukan ku akan arti sebuah penderitaan dan perjuangan.
Melamunkan ku menemukan hati yang mana yang terluka.
Aku tak paham akan semua ini.
Aku harus melihat siapa yang tersakiti oleh ke egoanku.
Cinta ataukah kasih ?

Indah sebuah perdaraan yang dulu terlantunkan,
Kini perlahan meninggalkan sebuah kasih dalam kesendirian.
Cinta yang dulu senantiasa mengahiasi hari demi hari,
Tak mampu lagi menebarkan indah cintanya pada putihnya kasih.
Hingga cinta pun tak lagi menyapa dalam kasihnya peraduan.
Kata sayang yang dulu terlontar seperti sampah,
Kini kata itu menjelma menjadi sebuah kata berselimut emas,
Membatasi nada-nada kasih maupun cinta dalam satu ikatan yang tlah pudar.

Cinta ku telah pergi,
Kasih ku kini diam dalam peraduan penyesalan,
Mengilhami arti sebuah kebodohan.
Hingga mata pun tak mampu melihat cinta yang dulu menyapa dengan lembut dalam jiwa ketakutanku.
Apakah cinta yang dulu dapat memberiku tulusnya sebuah sentuhan dan sapaan sayang dalam massa ku kini?
Aku ingin terbuai kembali dalam teduhnya romansa cinta dan kasih,
Aku tak ingin beranjak meninggalkan cintaku pergi bersama yang lain.
Aku disini menunggu massa yang indah untuk menyatukan kasih ku dan cintaku dalam sebuah mahligai keabadian.
Tapi aku tak tahu kapan massa itu kan datang.
Aku juga ragu apakah kasih akan bersanding dengan cinta dalam massa itu.

Penyesalan menepuk pundakku,
Membangunkanku dalam buaian sebuah keangkuhan.
Suara-suara lembut memberiku cahaya dalam gelap.
Menuntunku melihat dalam nya cinta pada massa yang tlah usai.
Namun, disaat aku percaya akan cahaya itu,
Dan Disaat aku kembali merajut indahnya mimpi.
Aku harus terjatuh lagi pada pahitnya kenyataan.
Bahwa aku telah dinistakan oleh cinta ku.
Aku tak tahu apakah aku harus kembali bangkit meraih setitik cahaya harapan yang tlah redup?
Agar aku dapat tetap bertahan dengan kenistaan yang cinta berikan.
Hingga kasih pun enggan terbangun dalam kubangan sampah nada-nada sayang.

Cinta memaksa ku menutup lembar terakhir kisah yang memang harus berakhir.
Cinta memaksaku menerima bahwa kasihku tak kan dapat mengecap indahnya sebuah romansa mahligai.
Dan cinta pula yang menunjukkan ku siapakah yang tersakiti dan disakiti dalam kisah ini.

Mata ini buta akan kenyataan,
Kenyataan bahwa cintaku telah beranjak pergi meninggalkan ku, untuk selamanya.
Aku begitu bodoh untuk berteriak jangan tinggalkan aku pada cinta.
Karena cinta telah lama lama pergi dalam peraduan kasih ini.

Oh... Tuhan ...
Begitu poloskah aku,
Hingga aku tak mampu membaca tulusnya cinta pada diri ku.
Begitu egokah aku,
Bila aku tetap ingin memilikinya untuk bersanding dalam romansanya sebuah mahligai.
Begitu angkuhkah aku Tuhan,
Hingga aku harus mencampakkan sayangnya cinta pada diri ku.

Namun, aku begitu dungu Tuhan.
Karena membiarkan cinta ku pergi mencari kasih yang lain untuk melupakan akan kasih ini.
Dan apakah begitu sucikah aku,
Hingga aku tak membalas apa yang cinta ku berikan.

Tak ada yang mampu aku lakukan lagi selain sebuah senyuman.
Ya... Tuhan.
Senyum kekalahan dalam sebuah perjuangan yang panjang dan melelahkan.
Meski aku harus menapakki pecahan-pecahan kaca dari sebuah hati yang terluka dengan kaki-kaki telanjang ku,
Dan meskipun daging ini tlah luluh lantah pada sebuah penantian.
Aku kan tetap memberikan cinta ku sebuah senyuman putihnya kasih untuk melengkapi kisah ini.

Mataram, 01 November 2009 :)
By. Anggie


Reaksi

Masih belum ada reaksi yang dikirim di Bahasa Indonesia...

Tulis reaksi:

Kamu harus login untuk memposting komentar. Saya belum mempunyai account, daftar sekarang!
Rating kamu: 0
tidak ada rating