Monday, December 6

Sepenggal kisah, sewindu bersamamu


Sepenggal kisah,
sewindu bersamamu

Sebatang rokok dan segelas susu telah habis aku nikmati hanya untuk memanjakan mulut, bibir dan lidahku tak tahu kenapa tiba-tiba malam ini otakku jadi blank. Padahal telah berjam-jam aku terdiam di depan layar monitorku. Jujur saja mata ini sudah lelah dan ingin terpejam. Karena semenjak jam 20.00 wib tadi telahku paksa menatap dan melototin benda putih yang besarnya tak seberapa jauh dengan televisi di kamar meja sebelah ini.
            Lagi-lagi aku hanya bisa menekan Ctrl A dan kemudian jariku menekan tobol Delete di papan keyboard komputerku, padahal surat yang kuketik sudah seperempat dan bahkan ada yang sudah setengah halaman. Sungguh aku bingung untuk memulai dari mana, kata apa yang harus aku tuliskan dan pertanyaan apa yang harus aku tanyakan padanya. Padahal bertahun-tahun aku ingin menulis surat padanya dan secepat mungkin aku mengirimkannya, tapi hingga malam ini aku masih saja belum mampu melakukannya.
            Yatuhan….., masasih malam ini harus ngeblank lagi, masa ia aku harus tidur dengan tampa hasil dan sia-sia saja dari tadi aku nongkrong di depan monitor. Itulah guman yang ada dalam hatiku.
            Akhirnya aku takbisa menahan rasa kantukku yang begitu berat semenjak tadi dan seakan harus mengikhlaskan permintaan sepasang bola mata ini untuk terpejam, dengan cepat aku menekan tombol power yang berada di sebelah kanan dari papan keyboard, he..he… tombol itu adalah tombol alternative untuk mematikan sebuah computer tampa harus kita melakukan langkah-langkah yang selama ini kita pelajari seperti yang diterangkan sama guru komputerku ketika masih di zaman putih abu-abu dulu, sejenak kemudian suara khas muncul dari speaker kecilku yang menandakan komputer telah off.
            Sejurus kemudian tubuhku kuhempaskan keatas kasur dengan posisi telentang bebas dan mata menatap langit-langit kamar tidurku berharap waktu akan memejamkan mata ini dan membawaku  kedalam mimpi jauh tidur lelapku.
            Mungkin hanya hitungan detik mata ini terpejam dan hanya hitungan menit membawaku terbang jauh kedalam mimpi lelapku.

***
            Kringggggg…kringggggg….kringgggg jam alarm dikamarku sudah  bordering ria itu artinya hari sudah pagi, takterasa empat jam tubuhku ini terlentang di atas ranjang dan kasur yang taksetebal dan tak seempuk tempat tidur yang ada di hotel-hotel, tapi kenyamannannya tak jauh beda selayak hotel berbintang.
            Uuhhhhh…….., kucoba buka kedua tanganku dengan selebar mungkin dan sedikit membelokan pinggangku kearah kiri dan kanan serta mengangkat pinggulku keatas sedikit. Hal inilah yang sering aku lakukan setiap hendak bangun di pagi hari untuk melemaskan tubuhku setelah beberapa jam terbaring lelab dalam tidurku. Rasanya seperti belum puas jika aku belum dapat melakukan hal-hal seperti diatas.
            Berlahan-lahan aku mengusap-usap kedua mataku, sejurus kemudian jari telunjukku sudah beraksi dengan berangasnya menggasak dan menanggalkan belek (kotoran mata) yang ada di kedua sudut mataku hingga nyaris tampa tersisa.
            Tak selang begitu lama tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup panggilan untuk menghadap pada sang Robi, kini panggilan itupun nyaris terdengar ulang lebih dekat dari corong-corong musolah AR-Rahman dibalik dua jalan perumahan dari tempat tinggalku. Setelah suara itu usai dikumandangkan aku lekas meninggalkan kamar tidurku dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan kewajibanku.
            “Ya Allah berilah hamba petunjuk yang bisa menerangi jiwaku, dan bisa menuntun kedua kakiku kejalan yang lurus, dan bisa membina kedua tanganku untuk menggapai sesuatu yang engkau kehendaki. “ sepenggal doa yang acapkali kuminta pada tuhanku agar aku tidak salah melangkah dalam menentukan sikap dan perbuatanku.
***
            Pagi ini setelah shalat subuh aku coba menghidupkan kembali komputerku lagi untuk mencoba memecahkan bilang-bilang abstrak dalam benakku agar bilangan tersebut terpecah dan terangkai menjadi sebuah percikan printer yang lugas dan indah dibaca serta dapat mewakili dari kegundahan pada segumpal daging dalam tubuhku yang letaknya di balik tulang-tulang igaku.
            Kertas polos putih itu sudah tersaji di kedua mataku lengkap dengan kedip-kedipan kursor yang seolah-olah menghitung waktuku, sudah berapa lama aku memandanginya sejak dari tadi, setengah jam waktu telah aku buang dengan sia-sia hanya untuk menatap benda persegi emapat ini.
            “Bismillah hirrohman nirrohim” batinku dalam hati, sebelum aku mencoba menarik laci tempat papan keyboardku, tak lama kemudian aku mencoba meletakan kedua tanganku diatas papan pembatas laci tersebut. Dan menempelkan sepuluhjariku di atas abjad-abjad yang terdapat pada papan pencet itu.
            “Aduh kenapa jadi ngeblank lagi…..” gumamku didalam hati sambil mengumpat diriku sendiri. Hingga keajaiban itu datatang menyelamatkanku memberikan sebuah inspirasi yang selama ini belum pernah sama sekali aku dapatkan dan aku temukan.
            Aku banyangkan seakan-akan aku berbicara dengannya, untuk sementara waktu aku anggab monitor ini adalah wajah darinnya dan seakan-akan aku sedang ngobrol berdua dibawah rimbunya pohon dan di semilirnya tiupan angin yang sepoi-sepoi.
            Alhamdulilah jurus ini ternyata begitu ampuh bagiku, sehingga kubiarkan sepuluh jariku menari-nari dan berjingkrak-jingkrak diatas papan keyboard, sedangkan kedua mataku mengawasi dari setiap tingkah-tingkah yang dilakukan oleh sepuluh jariku tadi dari layar monitor.
“Dinda…., sewindu sudah telah berlalu, sewindu sudah aku mengenalmu dan sewindupula aku masih setia menunggumu hingga detik ini.” Begitulah bunyi bait pertama dari surat yang aku ketik.
            Dinda sewindu bukalah waktu yang sebentar bagiku, jutaan menit telah aku lewati namun sewindu juga bukan waktu yang lama karena seakan baru kemarin aku mengenalmu, hingga sampai kini masih terniang jelas di ingatanku sewindu yang lalu ketika kita sama-sama pertamakali menginjakan kaki ditanah rantau ini dan sama-sama berdiri menunggu berjam-jam ditanah lapang demi mendapatkan selembar kertas yang akan kita beli dan nantinya akan kita kembalikan lagi pada panitia pelaksana. Seakan semua itu sudah tercopy jelas dalam memori ingatanku.
            Aku masih ingat waktu itu kamu menggenggam botol air mineral dengan merk yang sudah terkenal dan bahkan sudah seringkali muncul di beberapa stasiun televisi, dan tangan yang satumu menjinjing sebuah map yang berisikan ijazah dan berbagai syarat untuk mendaftar pada sebuah perguruan tinggi yang saat itu kita antrikan formulirnya. Cuaca pada saat itu begitu terik sinar sang suryapun seakan-akan menusuk-nusuk bak duri kaktus di seluruh tubuhku, terutama pada kedua lenganku yang kala itu memang kebetulan aku mengenakan kemeja berlengan pendek. Begitujuga dengan dirimu sedari jauh aku tak henti-hentinya mengamati dan mencuri-curi pandang terhadapmu dari balik tubuh pria gendut di belakang samping kananmu kucoba sembunyika kepala ini walaupun sekali-kali terperanjat dan tertangkap basah dengan dirimu, namun dengan cekatnya ku alihkan pandangan mata ini pada sebuah benda bulat berwarna putih dan bermerk Mirage yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
            Sesekali kulihat engkau mengibaskan keringat di kening wajahmu, memang tidak begitu banyak namun tiada henti bercucuran mengalir dari tepi-tepi jilbab putihmu, bahkan lengan kemejamu kini sudah basah akibat ulah keringat itu ya maklum saja sepertinya engkau tidak membawa sapu tangan atau tisu.
            Hingga tiba saatnya aku berdiri tepat berada di sandingmu, karena kebetulan pria berbadan besar itu kelauar dari barisannya. Lagi-lagi kujumpai engkau sedang mengusap keringat dengan lengan kemejamu dengan sedikit keraguan aku mencoba meraih sebuah tisu dari dalam saku celanaku, dan segera mungkin aku sodorkan kearah mu. Senyum manis yang menawan dari kedua bibir tipis merahmu engkau berikan terhadapku, sungguh senyuman itu seakan mengguyur tubuhku dan memberikan kesejukan yang sedari tadi tersengat oleh panasnya sang mentari.
            “Ambil lah, dari pada bajumu kotor kena keringatmu.” Sapaku mengawali percakapan dan engkaupun mengambil tisu itu dari tanganku dan lalu mengusap keringat di kening dan pipimu.
            “Subhanallah” batinku didalam hati, bukan hanya dari kejauhan engkau nampak cantik tapi dari dekat wajahmu kelihatan berseri-seri, walau keringat telah memudarkan bedak dari wajahmu namun semua itu tidak mampu membunuh pancaran aura keserian yang keluar dari kedua pipimu. Sungguh seakan tak sabar aku ingin mengetahui siapa namamu dan seakan tak sabar kedua telingaku ingin mendengarkan suaramu.
            “Terimakasih”. Itulah suara yang pertama kali aku dengar dari mulutmu, kata itu keluar dengan nada pelan namun santun.
            “ini tisunya” sambungnya terhadapku sambil memberikan bungkusan tisu yang aku berikan tadi,
            “Ambil saja, pasti kamu lebih memerlukannya ketimbang saya”, timpalku dengan sedikit mendorong tangannya seakan memberi syarat untuk menolak, dan saat itupula aku melihat engkau tersenyum untuk yang kedua kalinya.
            Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, hingga kita sama-sama berkenalan dan saling bertukaran nomor handphon, siapa yang menduga jika perkenalan kita yang singkat itu ternyata membawa keberuntungan dalam dirikita. Jujur pada saat itu engkaulah satu-satunya wanita yang aku kenal ketika pertamakali aku menginjakan kaki di tanah rantau ini. Entah mengapa batinku selalu terpaku terhadapmu meskipun disekeliningku terdapat puluhan bahkan ratusan wanita cantik tapi hanya kamu yang mampu menggetarkan hati dan jiwaku, seakan-akan engkaulah satu bintang diantara seribu bintang yang mampu bersinar dengan pancaran cahaya yang berkilau terang.
            Dinda, ketika engkau putuskan akan pindah dari kota ini hatiku sungguh kecewa, namun demi cita-cita yang engkau harapkan aku tidak bisa menghalang-halanginya, ingin rasanya aku turut mendampingimu kesana, tapi apalah daya duniakita mungkin taksama. Disinilah akau mencari jati diriku dan mungkin disana engkau mencari jati dirimu juga. Tapi ketika engkau pamitan terhadapku aku sempat berikrar aku akan setia menunggumu hinngga pada batas waktu yang kita sepakati, dan sekarang hanya hitungan hari lagi batas waktuku untuk kumenunggumu akan berakhir sebagai mana yang telah kita ikrarkan bersama tatkala aku mengantarmu di terminal ujung kota ini.
                       
                                                                        ****
            “Dinda..!!!” itulah sepenggal kisa antara engkau dan aku yang telah aku uraikan untukmu, dan masih ada sepenggal kisah lagi yang engkau belum tahu yang nantinya akan aku ceritakan jikalau kita telah bertemu dan engkau telah kembali kesini, sengaja aku menyimpan dan menyembunyikan darimu agar kisah yang sepenggal itu bisa menjadi obat penangkal keluh kesah dan gundahku dan sekaligus aku bungkus menjadi jimat dalam hatiku.
            Tapi namun jikalau engkau tidak bisa hadir dan menemuiku, biarlahlah sepenggal kisah ini akan ku endapkan kedalam lubuk hatiku yang terdalam agar menjadi hartakarunku dikala aku sudah senja kelak. Dan akan kubagi kepada anak dan cucu-cucuku sebagai cerita dongeng menjelang pagi. Begitulah aku menutup dalam kalimat suratku, surat yang sangat sederhana isinya namun butuh waktu sewindu aku mampu menguraikannya.




                                                                        By : Arie Saputra

No comments:

Post a Comment

untuk itu kami sangat memerlukan partisipasi anda anda semua, dan layanan coment ini kami buka seluas luasnya