Thursday, July 28

Belatiku menancap di perut ibu

Bocah lima tahun itu adalah aku. Karena keperkasaan tangan ibu lengkap dengan warna benci di wajahnya, aku dipaksa untuk bersahabat dengan gelap. Entah kenapa, selepas adzan magrib aku menjadi terbiasa untuk sekeras-kerasnya memekikkan tangis, meronta-ronta dan pada akhirnya kamar mandi, ruang gelap itu, menjadi tempat penjeblosanku. Tak ada ventilasi, tak ada cahaya lampu, tak ada rasa iba ibu, yang ada cuma gema yang memantul-mantul sebab jerit tangis yang keluar dari mulutku benar-benar keras. Sampai suaraku serak, volume menurun, kemudian isak tak terdengar, barulah pintu kamar mandi terbuka. Namun apakah warna benci di wajah ibu telah hilang? Tidak. Bahkan memudarpun tidak. Kembali ibu meraih paksa tangan kecilku dan menggeret keluar.

Separah apakah kenakalan yang kulakukan sehingga ibu sebegitu kejam? Bukan, aku yakin ini bukan karena kenakalanku. Kalaupun aku nakal, rasanya kenakalan yang wajar dilakukan oleh anak berumur lima tahun. Teman-teman bermainku juga sama sepertiku, bahkan banyak yang lebih nakal, tapi ibu-ibu mereka tak seperti ibuku. Paling-paling mereka hanya dicubit pantatnya lalu disuruh masuk ke kamar. Tapi aku?
“Anjing kau, anak tidak tau diuntung!” Telapak tangan ibu menyambar pipiku. Entah tamparan yang keberapa belas. Untuk sebuah tamparan seperti itu aku kuat tidak menangis. Cuma menunduk.. Dia jambak rambutku. Aku masih diam. Tapi saat ia meraih tanganku, aku mulai meronta. Mata kecilku mulai berair. Tangannya begitu kuat. Kakinya melangkah. Aku menjerit. “Jangan ibu… jangan masukkan aku ke kamar mandi. Toloooooong!”
Ah, jerit yang sia-sia. Siapa yang akan menolongku? Tak ada. Cuma gelap, udara lembab, aroma kamar mandi, dan gema dari jerit ketakutan. Tapi apa yang kutakutkan, jika besok dan besoknya, besoknya lagi aku pasti berada di sini? Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi menangis. Ibu telah berhasil memaksaku untuk bersahabat dengan gelap. Gelap yang begitu damai. Ya, saat senja berakhir, saat ibu mulai menampar wajahku, menjambak rambutku, aku tak sabar supaya ibu cepat-cepat memasukkanku ke dalam kamar mandi tak bercahaya itu. Karena di sana aku merasa aman. Gelap.
Bocah yang bersahabat dengan gelap itu berumur tiga belas tahun. Aku. Sudah dua tahun ini ibu tak pernah lagi memukuliku. Sebab jika itu terjadi, aku akan melawan. Dia tampar wajahku, kutampar wajahnya. Dijambak rambutku, kujambak rambutnya. Kalau ibu mencoba membunuhku, aku yang akan lebih dulu membunuhnya. Sejak itu ibu tak berani lagi menyiksaku.
Semakin hari aku semakin akrab dengan gelap. Tak hanya kegelapan kamar mandi, aku tumbuh menjadi lelaki yang mencintai malam. Kutinggalkan rumah, kutinggalkan ibu setelah meludahi wajahnya. Sungguh malam yang mengesankan waktu itu. Merasa aku sudah berani melawan, ibu mencoba menyiksaku dengan cara lain. Satu harian ia tidak memasak. Dibiarkannya aku kelaparan sendirian. Sementara ibu, dari pagi sudah keluar rumah dan baru pulang saat senja berakhir. Tapi aku bukanlah bocah lima tahunan yang cuma bisa merengek. Umurku sekarang tiga belas tahun, dan sejak kecil, kamar mandi tanpa cahaya telah mengajariku untuk tetap bertahan.
Ibu pulang. Diam. Tanpa makian tak ada tatapan garang. Aku yang kelaparan seolah tak ada. Nyelonong ia masuk kamar. Kubiarkan beberapa saat. Tak juga keluar. Aku yang kelaparan menuju dapur, mengambil sebilah belati. Kudobrak pintu kamar ibu, kuludahi wajahnya. Aku pergi.
Aku yang kelaparan berumur tiga belas tahun sama sekali tak merasa takut berjalan sendirian. Di balik bajuku terselip sebilah belati. Senja telah benar-benar musnah. Apa yang akan kulakukan dengan belati ini? Aku terus berjalan, menapaki malam, berbekal dendam.
Aku sampai disebuah tempat sepi. Perutku semakin lapar. Tiba-tiba hasrat untuk meraih gagang belati tumbuh. Seorang perempuan seksi berdiri mematung di bawah merkuri. Tampaknya seorang pelacur. Pakaiannya teramat ketat, gempal susunya seolah memberontak ingin keluar. Aneh, sama sekali aku tidak gemetar untuk mendekatinya sambil tangan kanan siap dengan belati.
Inilah kegelapan yang kucintai. Tak ada kesulitan sama sekali untuk menodongkan belati ke arah perempuan lacur itu. Selanjutnya, sejumlah uang yang berada dalam tas kecilnya berpindah ke tanganku. Perempuan itu pergi. Kuselipkan kembali belati di balik baju, melangkah mencari warung makan terdekat.
Lelaki yang bercinta dengan gelap berumur dua puluh satu tahun. Aku. Aroma alkohol semerbak keluar dari nafas, mataku nyalang menantang rembulan. Jejak kaki adalah kembara tak terkatakan. Dari lorong ke lorong, trotoar, udara dingin, warna cuaca, kulumat habis susu ratusan pelacur dengan tangan kanan menggenggam belati. Mereka mengenalku sebagai lelaki tanpa hati. Enam orang mati dengan perut robek dan usus keluar sebab mencibir aku punya belati. Kilatannya bercerita sunyi. Untuk selanjutnya entah berapa ratus orang pasrah menyerahkan harta kekayaannya. Hah, mereka orang-orang yang takut dengan kematian.
***
“Aku ingin anakku menjadi matahari.”
“Matahari? Mataharimu takkan pernah terbit sebab aku akan membunuhnya!”
“Kalau kau berani menggugurkan kandungan di perutmu, bukan hanya anakku, kau juga akan mati!”
Lelaki tanggung itu naik pitam. Dijambaknya rambut perempuan yang sedang mengandung anaknya. Tiga bulan sudah. Perempuan diam. Tapi debar di dadanya mengalahkan gelegar halilintar paling sangar di dunia ini. Apalagi yang harus dipertahankan? Batin perempuan. Habis sudah masa depan. Orang tuanya di desa, yang sangat konservatif itu, tak akan pernah terima. Impian jadi sarjana lenyap bersama munculnya tanda positif dari alat tes kehamilan. Masyarakat? Oh, masyarakat adalah sesuatu yang tak perlu diceritakan. Cemooh, makian, cibiran, sudah dapat dipastikan, untuk hari-hari berikutnya yang ada dalam bayangan cuma airmata.
Kamar kos berukuran tiga kali empat itu sepi sejenak. Sepasang kekasih, dua orang mahasiswa, dua orang yang gagap meraba angka-angka kelender, terjerembab dalam diam penuh kecamuk.
“Sekali lagi kuperingatkan, kalau kau berani menggugurkan bayiku, kau akan mati!” Pemuda itu beranjak. Kembali menjambak rambut panjang perempuan, menuju arah pintu, hilang dilumat suara pintu yang dibanting penuh kebencian. Perempuan terisak.
Rotasi arloji menjadikan musim berubah. Setelah membanting pintu, lelaki yang mengharamkan kekasihnya menggugurkan kandungannya itu tak pernah kembali. Hujan, panas, siang, malam dilewati perempuan sendirian. Tak seorangpun keluarga di desa mengerti kondisinya. Hingga pada bulan kesembilan, lelaki yang menghamilinya tak juga datang.
Tak ada dokter, bidan ataupun dukun beranak. Sendirian perempuan itu mengerang. Lilitan rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Keringat berserakan di wajah dan tubuhnya. Bayangan maut gentayangan di kamar berukuran tiga kali empat. Erang perempuan semakin membahana. Digenggamnya erat sprei yang basah oleh keringat.
Matahari tepat di atas kepala. Panas begitu luar biasa ketika tangis seorang bayi menyerang garang. Seorang perempuan telah menjadi ibu. Terengah-engah. Ditatapnya bayi yang lahir tepat tengah hari. Di matanya tergambar warna benci dan dendam. Entah naluri seorang ibu, entah karena ketakberdayaan, dibatalkannya hasrat mencekik leher orok yang tak henti menata irama tangis pertamanya.
“Bapakmu ingin kau menjadi matahari, aku akan mengajarimu tentang hidup yang tanpa cahaya!” Perempuan itu mendesis. Masih dengan kebencian tanpa metafora.
***
Seorang paruh baya terlihat sendirian berdiri resah di bawah gardu sebuah gang kecil. Tampaknya ia benar-benar ingin memastikan hujan yang cuma gerimis reda. Cahaya yang menyinarinya cuma bola lampu 10 watt yang bergoyang-goyang di tiup angin. Wajahnya tengadah sebentar, lalu menatap arloji di tangannya. Jangan pergi dulu bapak, sebelum kau serahkan seluruh isi dompetmu. Jam tanganmu juga. Kuraba pinggangku, belatiku siap sedia.
Ternyata lelaki paruh baya itu tak hanya menunggu gerimis reda, tapi juga menunggu seseorang. Seorang perempuan datang menghampirinya. Tak terlalu jelas wajah perempuan itu. Barangkali istrinya, atau selingkuhannya, atau bisa juga perempuan itu seorang pelacur. Tapi aku kenal betul daerah ini. Tak ada pelacur di sini. Ah, persetan perempuan itu istrinya, selingkuhan ataupun pelacur. Lagi pula apa urusannya denganku. Yang penting bagiku adalah mendatangi kedua orang itu, menodongkan belati dan pergi dengan membawa hasil yang memuaskan. Siapa tau perempuan yang datang barusan malah memiliki uang lebih banyak dari si lelaki.
Lelaki beribukan gelap berumur dua puluh tujuh tahun. Aku. Kulangkahkan kaki mantap mendekat kedua orang itu. Gerimis masih memahat sunyi. Si lelaki paruh baya merangkul pundak perempuan. Dasar tua-tua keladi. Kayak anak remaja saja dia merangkul pasangannya. Aku tak bisa menaksir umur si perempuan. Sebab kepalanya berlindung dari hujan di dada si tua-tua keladi. Sepertinya mereka akan pergi. Kupercepat langkahku. Setengah berlari.
Belum lima langkah sepasang bukan remaja itu berjalan, belatiku sudah tepat berada di belakang leher mereka. Setetes gerimis jatuh tepat di ujungnya yang tajam dan mengkilat. Merasa ada yang mengikuti, dua orang itu berhenti. Kemudian menoleh ke belakang, ke arahku yang siap dengan belati.
Tapi kepada siapa belati ini kutodongkan?
Cahaya kilat berkelebat, disusul suara gemuruh dan gelegar. Mengetahui ada belati, perempuan menjerit, semakin dalam menyurukkan kepalanya di dada lelaki. Si lelaki mencoba tetap tenang, meski aku tahu persis bibirnya gemetar. Sekali lagi kilat berkelebat. Tapi yang menyusul bukan gemuruh dari langit, melainkan gemuruh dari hatiku.
“Apa maumu?” Si lelaki menggertak. Aku tak hirau. Mataku tajam menatap wajah perempuan. Begitu juga sebaliknya. Aku hapal garis wajahnya yang sudah mulai mengkerut. Barangkali dia juga. Cukup lama kami beradu tatap.
“Hei jangan main-main dengan benda tajam itu, turunkan pisaumu!” Telingaku sama sekali tak terusik demi mendengar ratapan orang takut. Belatiku tetap tak bergeming. Tapi wajah perempuan itu… “Zlap.” Kembali kilat berkelebat.
“Anakku…” Perempuan itu mendesis. Masih dengan warna takut di wajahnya. Lelaki yang dipeluknya terkejut. Sementara mataku, masih menatapnya tajam. Setajam belati yang siap merobek leher kedua orang di depanku. Kali ini hasratku merampok kedua orang itu hilang. Yang tertinggal cuma dendam, kebencian termat sangat kepada sosok perempuan di depanku.
Aroma kamar mandi, caci maki, bayangan telapak tangan yang siap menampar dan menghajar, serta merta masuk dalam kepalaku. Perempuan itulah yang telah mengajarkanku mencintai gelap. Perempuan itulah yang telah mengajarkanku menyetubuhi gelap. Perempuan itulah yang telah mengajarkanku menyusu kepada gelap. Perempuan itu yang telah menyerahkan aku kepada gelap untuk kusembah sebagai ibu.
Gerimis telah benar-benar reda. Tapi sunyi masih memprasasti, serupa belati, sejak tadi menyanyat degup jantung dan denyut nadi. Sunyi yang penuh riuh, sunyi yang penuh kecamuk.
“Mas, di…dia a…nak kita….” Terbata-bata. Mata perempuan itu berkaca. Dipeluknya erat lelaki yang sejak tadi diam kebingungan bahasa. Ho…ho… Dia anak kita, Mas. Siapa anakmu hah? Setelah beribu serapah dan tamparan hinggap di wajahku. Mas, dia anak kita……Mulia sekali hatimu. Aku tak pernah dilahirkan oleh ibu seperti kau. Rahim yang telah mengeluarkanku adalah rahim yang berasal dari kegelapan. Tanpa cahaya. Ibuku adalah gelap. Bukan kau, perempuan pecundang!
“Mas…”
“Benarkah dia anak itu? Benarkah dia matahari yang kurindukan itu?”
Keparat! Lelaki itu menyebut diriku anaknya? Tak ada bapak tak ada ibu dalam kehidupanku, selain kegelapan yang setia merawat cinta pada setiap kekejaman yang menjalar di celah detik yang berotasi di arloji. Matahari… Apalagi itu?
Ah, tak sudi aku berlama-lama dengan romantisme cengeng ini. Perempuan tak henti terisak. Lelaki mematung dengan seribu debar. Belatiku mendesis, tak sabar merobek perut mereka. Aku mendekat. Kedua orang itu memohon. Belatiku siap menyayat. Lelaki semakin erat mendekap perempuan. Belatiku menmpel di leher lelaki. Perempuan menutup matanya seraya menjerit histeris. Belatiku merah terkena darah. Lelaki meregang, lalu roboh tanpa penawaran.
Perempuan pingsan. Tak kuat menahan derita hampir tiga puluh tahun sejak ia ditinggal kekasihnya di kamar sewa dalam keadaan bunting.
Kalau kau benar ibuku, biarkan belati ini menancap di perut tempat aku bersarang selama sembilan bulan, tempat yang penuh dengan cerita-cerita gelap. Kurobek pakaian perempuan. Kupandangi kulit perutnya yang mulai keriput. Sesaat kemudian, belatiku menancap sarat dengan kebencian. Darah muncrat.
Kutinggalkan kedua orang yang terkapar. Kakiku melangkah pasti menembus gelap. Belatiku masih menancap.

cerpen ini kami kutip dari blog dunia cerpen tm

No comments:

Post a Comment

untuk itu kami sangat memerlukan partisipasi anda anda semua, dan layanan coment ini kami buka seluas luasnya